Batik is back! Semua orang berhak merespon dengan berbagai cara. Tersenyum, sedikit kaget, bahkan mengernyit. Saat ini tren batik kembali berulang setelah era batik modern modern muncul pertama kali pada tahun 1960-an berkat usaha para desainer tanah air yang membawa batik hingga motifnya dikenal hingga ke belahan Benua Afrika.
Nelson Mandela termasuk salah satu penggemar berat batik yang membuat almarhum mantan Presiden Soeharto terhenyak pada pertemuan mereka di kunjungan kenegaraannnya ke Indonesia pada tahun 1997. Nelson Mandela ketika itu mengenakan batik, sedangkan Soeharto mengenakan setelan jas lengkap. Siapa yang menyangka?
Batik kini hadir di mana-mana. Bukan hanya orang tua, generasi muda hingga anak-anak pun tampil menggunakan batik. Batik tidak lagi berupa selembar kain yang dipadankan dengan busana kebaya, tetapi telah berkembang dalam diversifikasi produk. Salah satunya adalah busana siap pakai atao ready to wear. Permainan unsure detail, teknik potongan yang beragam, eksplorasi bahan, hingga kombinasi motif modern dan klasik menjadi daya tarik koleksi batik saat ini. Berbagai pameran berskala besar pun rutin diadakan turut memberikan sokongan kuat terhadap fenomena ‘demam batik’.
Batik Vintage
Cerita mengejutkan ini datang dari seorang seniman bernama Santosa Dullah yang rela membeli 1.500 potong koleksi batik kuno dari salah satu museum di Belanda untuk menjadi bagian dari koleksi museum batik miliknya, yaitu museum batik Kuno Danar Hadi. Museum ini dikumpulkan dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Sebuah museum yang mengoleksi kain kuno asal tanah air yang justru hadir di negeri yang telah menjajah Indonesia selama 350 tahun!
Batik kuno atau vintage selalu menajdi topik menarik. Selain komposisi warna dan permainan motif, letak keindahan batik juga terpancar dari latar belakang pembatik itu sendiri. Entah itu wilayah tinggal, kepribadian dan yang terpenting waktu pembuatannya.
Batik di zaman Belanda identik dengan motif bunga-bunga di Eropa. Selain itu, batik yang digunakan pada saat itu menjadi penanda kelas sosial yang dibedakan pada perbedaan ras dan status sosial. Jika kita melirik batik keraton, batik-batik pada zaman tersebut lazim dibuat khusus untuk para raja beserta istri dan juga anggota keluarga serta bangsawan tingkat tinggi. Pada masa itu, rakyat jelata mendapatkan larangan keras untuk tidak menggunakan batik dengan motif-motif khusus, seperti Parang Barong, Udan Liris, Semen Ageng, dan Semen Gerda. Sempat beredar asumsi bahwa motif-motif tersebut memiliki unsur magis dan sakral.
Berbagai alsan kemudian menarik komunitas pecinta batik untuk terus mengoleksi aneka batik kuno. Bentuk pelestarian, keterancaman terhadap koloektor asing, serta kecintaan terhadap motif-motif langka. Berbagai cara dapat dilakukan, yaitu dengan menyambangi distributor batik, toko benda antik ataupun melewatkan waktu untuk berburu batik di pasar-pasar kain tradisional. Variasi batik kuno pun beragam. Anda dapat membayar harga dua juta Rupiah dan dapat mencapai puluhan juta Rupiah, berdasarkan nilai historisnya. Adapun salah satu cara untuk dapat tetap tampil menawan dengan menggunakan batik kuno, yaitu dengan membuat replica motif dari batik kuno. Solusi ini dapat dijadikan jalan keluar untuk pemakaian motif batik kuno pada keseharian sekarang ini.
Kontroversi Batik
Berita menghebohkan justru datang dari negeri Jiran, Malaysia. Mereka sempat mengklaim batik sebagai salah satu budaya negara mereka. Ironis? Negara Cina pun sempat mengklaim batik sebagai bagian dari historis bangsa mereka. Namun, fokus pemasalahnnya disini justru menyangkut misi agar kita tidak sampai kehilangan identitas bangsa, terlebih tentang budaya.
Batik memang warisan masa lalu yang akan selalu memiliki kedekatan personal. Kedekatan karena adanya prosesi panjang dengan tiap tetes keringat yang menghasilkan sesuatu yang tidak mungkin ditemukan serupa walau dibuat oleh orang yang sama. Batik juga menjadi refleksi masa kin yang menyuarakan pembaharuan semangat. Bentuk semangat untuk peduli terhadap cirri khas budaya, lingkup sosial, dan juga nasib bangsa.
Tetapi yang paling penting adalah batik di masa datang. Hendaknya kita mengetahui bagaimana ‘mengangkat’ batik itu sendiri. Apakah dengan menanggulangi isu ekonomi keluarga pembatik, mempertajam aspek kreatif dalam produksi batik, selalu berinovasi, atau peka terhadap ruang gerak, wawasan dan kebebasan.
Batik hanya satu contoh dari sekian banyak kecantikan sandang Indonesia. Tapi janganlah lupa, masih ada pesona dari kain Indonesia lainnya, mulai dari tenun ikat, corak kain jumputan, ataupun songket. Atau Anda lebih rela untuk menghabiskan uang agar dapat tampil dengan berbagai busana dan aksesoris serba luar negeri dari para desainer ternama?